SLB DAN PENDIDIKAN INKLUSIF DI INDONESIA

Gambar:https://www.google.co.id/search?q=gambar+sekolah+inklusif&tbm

Oleh : Yuswan

Pemberian stigma Anak berkebutuhan khusus (ABK) dan bukan AKB pada hakekatnya dalam rangka upaya Pemerintah memberikan layanan pendidikan  yang sesuai kebutuhan kepada anak Indonesia. Karena dengan kebijakan tersebut Pemerintah mengetahui kebutuhan ABK dan memudahkan dalam membuat layanan pendidikannya. Keduanya sama-sama masih dalam perkembangan dan membutuhkan suasana yang memungkinkan anak mendapatkan pengalaman lengkap dalam  kehidupan anak di Indosesia.

Kebutuhan suasana dimaksud sejalan dengan salah satu teori kognitif dari  Lev Vygotsky (1896-1934) yang menyatakan bahwa perkembangan kognitif dan bahasa anak-anak tidak berkembang dalam suatu situasi sosial yang hampa. Teori Vygotsky menggambarkan potret perkembangan  manusia sebagai sesuatu yang tidak dapat terpisahkan dari kegiatan-kegiatan sosial dan budaya.

Atas dasar pandangan Lev Vygotsky  maka ada pesan penting di bidang layanan pendidikan bagi ABK yaitu “jangan biarkan mereka hanya hidup dalam kelompoknya (homogen), tetapi untuk mendapat pengalaman lengkap berilah kesempatan mendapatkan bimbingan dan/atau  pengalaman bersama anak Indonesia pada umumnya”. Jadi ABK  membutuhkan layanan pendidikan inklusif  sejalan dengan teori ini. Oleh karena itu  Deklarasi Bandung (2004) yang menekankan pentingnya penyelenggaraan, pengembangan pengelolaan dan promosi  layanan pendidikan inklusif sangat dibutuhkan ABK di Indonesia.

Ketentuan UU Nomor 20 tahun 2003 dalam pasal  54  ayat  (1) dan (2)  memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berperan dalam penyelenggaraan pelayanan pendidikan baik sebagai sumber,  pelaksana,  dan  pengguna  hasil pendidikan. Peran ini termasuk dalam penyelenggaraan pendidikan khusus baik penyelenggaraan SLB atau pendidikan inklusif.

SLB dimaksudkan dalam tulisan ini adalah salah satu bentuk satuan pendidikan khusus yang menyenggaran layanan pendidikan kepada ABK dalam satu lembaga pendidikan terintegrasi antar jenis ketunaan dan antar jenjang pendidikan dari jenjang TKLB, SDLB, SMPLB dan SMALB (PP No. 17 Th 2010).

Sedangkang pendidikan inklusif adalah “sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya” (pasal 1 Permendiknas Nomor 70 tahun 2009).

Kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif ditempuh dalam rangka pelaksanaan wajib belajar bagi ABK. Jadi perlu dimaklumi bahwa prioritas utama adalah pada target kuantitatif, sebagaimana tujuan dasar pendidikan inklusif sesuai  pasal 2 Permendiknas Nomor 70 tahun 2009  adalah  memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada ABK untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya, serta layanan pendidikan yang menghargai keberagaman, dan tidak diskriminatif. Permendikbud No: 46 tahun 2014 pasal  4 ayat (1) juga menegaskan bahwa  pendidikan khusus di pendidikan tinggi  dilaksanakan secara inklusif.

Guna menjamin kualitas layanan pendidikan inklusif sesuai kebutuhan peserta didik, maka  Pemerintah mensyaratkan bahwa  “Penyelenggara pendidikan khusus wajib mempekerjakan guru yang memenuhi standar kualifikasi akademik dan kompetensi guru pendidikan khusus yang berlaku secara nasional”. Klausul “mempekerjakan” guru pendidikan khusus dipahami sebagai GPK tidak harus dimaknai memiliki, tetapi bisa kondisional dalam arti bisa memiliki atau hanya kerjasama dengan SLB.

Khusus dalam hal penyelenggaraan pendidikan inklusif, secara normatif  jenjang pendidikan dasar dan menengah diatur dengan Permendiknas  Nomor 70 tahun 2009 dan layanan pendidikan inklusif jenjang Pendidikan Tinggi  diatur dengan Permendikbud nomor 46 tahun 2014.

Keterlibatan pihak masyarakat selaku penyelenggaraan sekolah swasta yang menyelenggarakan pendidikan inklusif adanya fakta  masih rendah. Provinsi Jawa Tengah menurut hasil  Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) th 2015 penduduk usia antara 5 tahun hingga 19 tahun berjumlah 8.427.144 anak. Apabila diasumsikan 1 % adalah ABK, maka di provinsi Jawa Tengah  terdapat  84.271 ABK yang memerlukan layanan pendidikan  khusus. Fakta ABK terlayani pendidikan khusus melalui SLB baru 17.397 anak atau  hanya 20,64%.

Keterlibatan pihak swasta mencapai 78,80% dan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah baru 21,20%.  Kenyataan ini diperkuat oleh data penyelenggaraan SLB di Indonesia yang menunjukan dominasi SLB Swasta yakni 1.441 buah (73,45 %)  dari 1.962 SLB  dan SLB Negeri 521 buah (26,55 %).  Itulah layanan pendidikan khusus melalui satuan pendidikaan khusus (SLB) di Provinsi Jawa Tengah dan Indonesia.

Hal ini berbeda dengan  penyelenggara pendidikan Inklusif  yang di Provinsi Jawa Tengah dari 544 sekolah dengan keterlibatan sekolah negeri mencapai 90,07 %  dan swasta hanya 9,93 %.   Demikian pula di tingkat nasional pendidikan inklusif tingkat SMP  keterlibatan  Pemerintah  64,58 % dan pihak swasta 35,42 %.

Ada apa swasta ko enggan terlibat didalam penyelenggaraan  layanan pendidikan khusus melalui pendidikan inklusif ?…

Salah satu asumsi penulis karena faktor regulasi yang masih belum mempermudah keterlibatan masyarakat. ..Bagaimana meningkatkan keterlibatan mereka ?  Selengkapnya silakan KLIK UPAYAKU